Jagung

Oleh: MASUN

Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Ponorogo

Kamis (2/3) malam jelang pukul sepuluh. Suara diskusi kami berlima memecah sunyi. Malam itu, di temaram sinar senter gawai, di pinggir jalan desa di utara Taman Wengker Babadan. Kami berdiskusi mengonsep acara panen jagung untuk esok pagi –sekira sepuluh jam kedepan. Tenggat waktu yang singkat.

Kami konsep acara sebaik-baiknya karena yang hadir memanen orang penting : Ibu Gubernur Khofifah Indar Parawansa dan Bapak Bupati Sugiri Sancoko. Syahdan, acara panen jagung pun terlaksana di Jumat (3/3) pagi. Tidak sempurna. Namun, cukup membayar lunas lelah kami. Lalu tersisa satu tanya : mengapa panen jagung musti diseremoni?

Seremoni sekadar simbol. Ada pesan yang ingin disampaikan lewat simbol tersebut. Jagung punya nilai istimewa : materiil (kebendaan) maupun idiil (gagasan).

Secara materiil, jagung varietas TKS234 yang dipanen memiliki sejumlah keunggulan. Potensi hasil tinggi 12,72 kg/ha, dengan rerata 10,44 kg/ha. Tahan terhadap penyakit bulai. Adaptif di lahan tadah hujan dan irigasi. Perakaran kuat dan batang tahan rebah. Itulah performa TKS234 sesuai Keputusan Menteri Pertanian Nomor 262/HK.540/C/01/2022 bertarikh 27 Januari 2022.

Varietas ini hasil silang antara tetua betina galur murni CRT11 Ponorogo dan tetua jantan galur murni CRAD04 Lampung. Lalu benih diperbanyak dan diedarkan oleh perusahaan lokal dengan nama dagang ikon khas Ponorogo. Karena itulah ditahbis sebagai benih asli Ponorogo. Tetapi maaf saya tidak sebut merek dagang tersebut disini.

Secara idiil, jagung punya dua peran strategis : pangan dan pakan. Jagung adalah komoditas pangan strategis kedua setelah padi. Pun turut menentukan level ketahanan pangan daerah. Jawa Timur kokoh di puncak perihal produksi jagung nasional, yakni 25,08% atau setara 5,78 juta ton (BPS 2022). Ponorogo menyumbang 335.200 ton dan bercokol di sepuluh besar penghasil jagung di Jawa Timur (BPS 2023).

Pun, jagung sebagai pangan pokok alternatif kedua. Konsumsi karbohidrat terbesar diduduki beras. Jagung rupanya substitusi beras yang baik. Konsumsi jagung oleh rumah tangga di Jawa Timur berada di peringkat keempat tertinggi setelah NTT, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara, yakni 3,68 kg/kapita/tahun (Susenas 2019). Secara nasional asupan jagung diharapkan naik menjadi 4,1 kg/kapita/tahun pada 2024. Sebaliknya konsumsi beras ditarget turun menjadi 85 kg/kapita/tahun dari posisi sekarang 92,9 kg/kapita/tahun.

Jagung juga komoditas pakan strategis. Kebutuhan jagung untuk industri pakan mencapai 6,12 juta ton dan kebutuhan pakan nonpabrikan dikisaran 3,66 juta ton (Dirjen PKH 2022). Kecukupan suplai jagung menjadi kunci produktivitas peternakan dan perikanan. Peternakan unggas mengonsumsi 90% produksi pakan pabrikan. Populasi unggas di Jawa Timur cukup tinggi. Sehingga kebutuhan jagung untuk pakan juga tinggi.

Peran strategis jagung hanya dapat diwujudkan melalui produksi yang tinggi. Produksi yang tidak mencukupi kebutuhan akan memicu harga tinggi, kemudian melahirkan kegelisahan masyarakat. Patut disyukuri karena produksi dan produktivitas jagung di Ponorogo semakin baik. Produksinya naik dari 333.565 ton (2021) menjadi 335.200 ton (2022). Produktivitas merangkak dari 7,05 ton/ha (2021) menjadi 7,26 ton/ha (2022).

Perbaikan performa berkorelasi dengan fasilitasi kepada petani. Bantuan benih hibrida unggul 7,5 ton untuk 34 kelompok tani dengan cover area 500 ha. Fasilitasi agroinput dan offtake pasca panen bagi 413 petani melalui Program Agro Solution Ponorogo Hebat dengan cakupan luasan 512 ha. Program ini tetap dilanjutkan pada 2023.

Jadi, layak bukan kalau panen jagung diseremoni? (*)

Sumber : Harian Radar Ponorogo Jawa Pos Group edisi terbit 14 Maret 2023