Banjir dan Puso

Oleh: Masun

Kepala Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan Ponorogo

Pada medio Februari, Ponorogo disasar banjir. Banjir dilaporkan merendam tiga kecamatan: Sukorejo, Kauman dan Ponorogo. Banjir dipicu luapan air dari beberapa sungai menyusul durasi dan intensitas hujan yang tinggi beberapa hari sebelumnya. Ponorogo yang dilintasi sedikitnya 14 sungai, menjadi rawan didera banjir.

Wilayah pertemuan aliran Sungai Keyang, Sungai Slahung dan Sungai Sungkur, sebelum masuk ke Kali Madiun, paling menderita saat banjir. Misalnya, Paju, Brotonegaran, Sragi, Kalimalang, Pengkol dan Gandukepuh. Pun, banjir menyambangi area sawah dan tanaman padi di wilayah tersebut.

Lalu, beberapa kawan jurnalis menanyai saya, “Apakah banjir telah mengakibatkan tanaman padi puso?” Dua diksi : banjir dan puso. Memang berbeda arti. Namun bisa erat berkelindan. Definisi banjir, secara operasional teknokratik oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, adalah tergenangnya areal pertanaman selama (1) periode pertumbuhan tanaman dengan (2) ketinggian air dan (3) jangka waktu tertentu, sehingga berpotensi (4) menurunkan produksi tanaman. Definisi ini menyebut empat indikator banjir yang dapat mengakibatkan puso.

Tanaman padi memiliki tiga fase pertumbuhan–vegetatif, generatif dan pematangan. Fase vegetatif yaitu awal pertumbuhan sampai pembentukan malai. Umur 0 – 60 hari setelah tanam (hst). Fase generatif yaitu mulai pembentukan malai sampai pembungaan. Rentang umurnya 60 – 90 hst. Terakhir fase pematangan yaitu bermula pembungaan sampai gabah matang. Kisaran umur 90 – 120 hst.

Durasi banjir yang merendam tanaman bisa diklasifikasikan menjadi tiga kategori: durasi pendek (1 – 5 hari), durasi sedang (6 – 10 hari), dan durasi panjang (lebih dari 10 hari). Saat fase vegetatif, tanaman padi cukup adaptif merespon banjir. Tanaman tetap dapat tumbuh meskipun tergenang banjir. Mungkin terjadi kerusakan. Namun masih dapat pulih saat surut jika banjir durasi pendek.

Periode kritis banjir pada tanaman padi terjadi saat fase generatif. Banjir dapat mengganggu pembentukan malai dan pembungaan. Produksi pun terancam turun. Penurunan produksi dipicu oleh terganggunya pasokan material, proses, dan produk fotosintesis.

Awal kerusakan terlihat pada bagian tanaman yang menjalankan fungsi fotosintesis: daun menguning. Banjir dengan durasi panjang dilaporkan dapat menurunkan produksi tanaman padi hingga 50%. Apabila penurunan produksi telah mencapai 75% atau lebih maka disebut puso. Vice versa bukan puso jika penurunan produksi belum melampaui 75%.

Area sawah yang disambangi banjir umumnya berlokasi di bantaran sungai, dataran banjir, atau cekungan. Banjir di wilayah bantaran sungai biasanya cepat surut, seturut kapasitas tampung badan sungai terhadap air. Tetapi area di dataran banjir dan cekungan bisa lebih lama tergenang banjir akibat elevasi dan level tanah lebih rendah.

Area sawah di Paju, Brotonegaran, Sragi, Kalimalang, Pengkol, Gandukepuh, dan lainnya yang disasak banjir pada medio Februari, kebanyakan berada di bantaran sungai dan sebagian kecil saja yang berada di dataran banjir. Maka banjir pun cepat surut. Hanya banjir durasi pendek. Namun, area sawah yang berada di dataran banjir terendam lebih lama sehingga potensial puso.

Tanaman padi di Ponorogo yang dilaporkan terkena banjir sepanjang Januari–Februari mencapai 654 hektar. Tapi, tidak semua yang terkena banjir berarti puso. Luasan yang didera puso hanya 9,8%. Selebihnya–90,2% yang lain masih dapat pulih dan berproduksi. Program Asuransi Usahatani Padi (AUTP) dan Program Cadangan Benih Daerah (CBD) telah didesain untuk membantu petani yang menderita puso. Jadi, pasti bahwa banjir tidak selalu berarti puso.

Sumber: https://radarmadiun.jawapos.com/opini/07/03/2023/banjir-dan-puso/, diakses tanggal 8 Maret 2023